Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Pages

Responsive Ad

MotoGP-Olimpiade di Indonesia, Antara Ekonomi dan Politik

Ambisi Indonesia menjadi tuan rumah ajang olahraga bergengsi tidak berhenti di Asian Games 2018. Hingga saat ini ada tiga ajang olahraga int...



Ambisi Indonesia menjadi tuan rumah ajang olahraga bergengsi tidak berhenti di Asian Games 2018. Hingga saat ini ada tiga ajang olahraga internasional yang dinanti masyarakat untuk dihelat di Indonesia: Piala Dunia Bola Basket, MotoGP, dan Olimpiade.

Dari tiga ajang itu baru Piala Dunia Basket yang sudah pasti digelar di Indonesia pada 2023. Kepastian itu didapat melalui pengumuman dari akun Twitter Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dan Federasi Bola Basket Dunia (FIBA) pada 9 Desember lalu.

MotoGP Indonesia hampir pasti digelar mulai 2021, dengan catatan sirkuit jalanan di Mandalika lolos verifikasi Dorna dan FIM. Indonesia dikabarkan bakal mendapat aliran investasi sebesar US$1 miliar atau setara Rp14 triliun (berdasarkan asumsi Rp14 ribu per dolar AS) dari Vinci Construction, perusahaan jasa konstruksi yang menjadi investor pembangunan sirkuit.

Sedangkan untuk Olimpiade, Indonesia sudah mengajukan diri sebagai calon tuan rumah Olimpiade 2032 lewat surat Jokowi kepada Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach. Penyerahan surat Jokowi dilakukan Duta Besar RI untuk Swiss Muliaman Hadad pada 11 Februari.

Pengamat olahraga nasional, Tommy Apriantono, mengatakan ambisi Indonesia menjadi sejumlah tuan rumah ajang internasional dianggap sebagai suatu hal yang positif. 

"Olahraga tak bisa dipisahkan dari pariwisata dan promosi suatu negara yang aman dan nyaman untuk pengunjung. Piala Dunia dan Olimpiade jadi rebutan karena dengan begitu orang-orang ingin ke Indonesia," kata pengamat asal ITB kepada CNNIndonesia.com.

Tommy menyampaikan ekonomi lewat pariwisata akan meningkat bila Indonesia bisa menjadi tuan rumah dari ketiga ajang tersebut. Bisnis masa depan, katanya, ada di pariwisata.

"Kalau ada ajang itu [MotoGP, Piala Dunia Basket, Olimpiade], mau tidak mau akan disiarkan secara langsung. Harapannya bisa memajukan pariwisata supaya mendatangkan devisa," ucap Tommy.

Namun, Tommy menerangkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menggelar ajang besar tersebut. Salah satunya adalah sumber daya manusia (SDM). Di Indonesia, ia menyebut hanya SDM di Bali yang sudah sangat siap untuk menyambut turis dari berbagai negara untuk menyaksikan ajang olahraga di Indonesia.

"Mudah-mudahan dengan menyelenggarakan MotoGP di Mandalika, jadi tidak ketinggalan sekali dengan Bali," ucapnya menambahkan. 

Senada dengan Tommy, pengamat olahraga Ermiel Thabrani mengakui masyarakat Bali berpengalaman dalam menggelar acara. Selain Bali, ia juga menyebut tempat lain seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Surabaya.

"Kalau saya harus melatih orang-orang di Lombok untuk jadi steward dan marshal di MotoGP, barangkali agak susah. Kan tidak lucu kalau MotoGP di Lombok [perangkat balapan] semuanya bule, masak tidak ada orang Indonesia sih? Kan event ini [MotoGP] belum pernah ada di sini lagi dalam waktu yang lama dan olahraganya sendiri terus berkembang serta memiliki protokol sendiri," ujar Ermiel.

Lebih lanjut Ermiel menerangkan setidaknya ada dua cara untuk meningkatkan SDM sebelum menggelar tiga ajang tersebut.

"Pertama kirim advance SDM, satu event sebelum event tersebut digelar di Indonesia. Kirim tim-tim Indonesia yang menjadi pendamping untuk membantu operasional event karena itu penting dan perlu meningkatkan kapasitas [SDM]. Saya sih selalu fokus ke SDM, karena itu yang paling lama dikembangkannya," tutur dia.

"Misalnya MotoGP di Lombok pada 2021, pada 2020 [tim Indonesia] jalan-jalan lah ke Malaysia. Kirim Marshall dan Race Director, apakah itu untuk event reli, F1, apa saja. Prinsipnya [gelar ajang olahraga internasional] sama," tuturnya melanjutkan.

Kedua, lanjut Ermiel, Indonesia harus memiliki orang yang pandai bernegosiasi untuk mendapatkan keuntungan yang berlimpah sebagai tuan rumah seperti kekayaan intelektual, hak siar, dan lain sebagainya.

"Kita butuh ini untuk mencorongkan Indonesia ke dunia. Yang begini [negosiasi] tidak banyak juga ahlinya di Indonesia, karena kebanyakan pengelola cabang olahraga di Indonesia adalah policy maker. Negosiasi itu memproteksi maximal interest kedua belah pihak," ujar Ermiel.

Muatan Politik

Wacana untuk menjadi tuan rumah MotoGP 2021 dan Olimpiade 2032 terjadi jelang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Baik Tommy maupun Ermiel tidak menampik ada muatan politik atas hal tersebut.

"Itu [keinginan untuk jadi tuan rumah sebuah ajang olahraga internasional] tidak bisa dilepaskan dari politik. Ini [terjadi] di seluruh dunia. Seperti Jepang di Olimpiade 1964, berani menjadi tuan rumah untuk menunjukkan bahwa Jepang sudah pulih dari Perang Dunia 2. Saat itu, Jepang juga meluncurkan Shinkansen pertama dari Tokyo ke Osaka," tutur Tommy.

Sementara Ermiel bisa memahami ada orang yang berpikiran wacana tuan rumah MotoGP 2021 dan Olimpiade 2032 memiliki muatan politik. Akan tetapi, ia tidak menganggap itu sebagai sebuah hal yang besar.

"Kalau Pilpres [Pemilihan Presiden] 2019, pemenangnya sampai 2024. Kalau begitu, Olimpiade 2032 buat siapa? Jadi kalau investasi di bidang Olimpiade seperti ini, selalu sifatnya jangka panjang. Seluruh dunia itu menyiapkan Olimpiade 10-12 tahun," ucap Ermiel.

"Anda harus menempatkan mana sebenarnya yang jangan panjang, menengah, dan pendek. Kalaupun mau dikaitkan kepada keuntungan rezim atau politik, itu biarkan saja berkembang. Rakyat akan bilang, 'Terserah deh siapapun jadi presiden, manfaatnya buat gue apa?'," sambungnya.

Perihal finansial, Ermiel juga berharap pemerintah membuat sebuah perencanaan yang baik. Meski sebagian fasilitas olahraga sudah jauh lebih baik pasca Asian Games 2018, Indonesia tetap membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk bisa menggelar Olimpiade pada 2023.

Dikutip dari The Oxford Olympics 2016, setiap negara yang menjadi tuan rumah ajang multi-cabang olahraga terbesar di dunia ini ini harus mengeluarkan biaya US$8,9 miliar atau setara dengan Rp126 triliun.

"Ini seperti orang baru kerja dan punya istri, terus mau beli rumah. Tidak bisa untuk [berkata] 'Tidak bisa [gelar MotoGP, Piala Dunia Basket, dan Olimpiade]', harus bisa. Nyicil kek, kurangi kek pengeluaran, efektifkan anggaran, harus dipaksakan," kata Ermiel.

"Nah anggaran pembangunan dan belanja negara tidak pernah lebih, pasti tekor. Oleh karena itu, sekarang ini bukan [masalah] di anggaran tapi komitmen politik. Bagaimana caranya? Tempatkanlah perencanaan event ini di setiap rapat kabinet dan pembuatan keputusan, ini [tuan rumah MotoGP dan Olimpiade] harus terus digalang," ucap Ermiel.

Dengan begitu, Ermiel yakin persiapan menyelenggarakan MotoGP dan Olimpiade bisa lebih matang ketimbang Asian Games 2018 yang hanya sekitar dua tahun menyiapkan segala sesuatu.

"Jadi bukan barang kagetan, tidak terkait dengan rezim. Ini pembangunan bangsa, bukan pembangunan rezim. Kalau masih diwarnai seperti itu [pembangunan rezim], maka politik anggaran Indonesia pasti selain kurang, juga tidak akan bisa fokus. Itu yang menjadi penting," sambung dia.

"Kalau saya pribadi, tiga event itu hanya tinggal izin dan rida Allah SWT saja. Allah juga suka dengan orang-orang berani yang mengambil keputusan buat masa depan, demi kepentingan yang lebih besar. Ya itu lah, ini ladang juga secara bisnis," ucap Ermiel. 

Kuliah Beasiswa..?? Klik Disini

Reponsive Ads